KAMI JUGA WARGA JOGJA ISTIMEWA: ‘LONDHO’ MENGAMATI JOGJA

 

 

Presentation made at Bangsal Kepatihan, 6 March 2012 – and more relevant than ever 4 years later.

Sejak 1981 saya menetap di Jogja, awalnya sebagai guru di IKIP Jogja. Kemudian bekerja sebagai peneliti S3. Pernah juga magang selama 3 tahun di keraton hageng dengan Krido Merdawa. Hingga kemudian bertemu jodoh dan menjadi isteri orang Jogja. Pengalaman saya di sini dimulai pada tahun 1979 dalam rangka perpindahan ke Zelandia Baru dan kebetulan lewat Jogja. Apa yang saya lihat sebagai hal yang sangat menonjol dan menarik dari Jogja adalah tempat-tempat bersejarah khas Jawa yang bisa ditemukan di mana-mana. Pada waktu itu, Malioboro lebih menampakkan arsitektur pacinan, gedung kolonial, dan jejak-jejak kerajaan. Pohonan besar tumbuh di kedua sisi jalan membuat suasana teduh sejuk. Terlihat banyak sepeda, becak, andong berseliweran dan sesekali kendaraan bermotor. Warga juga sangat ramah padahal saya belum bisa berbahasa Indonesia. Saya sungguh terpesona dan pada tahun 1979 itu sudah tahu bahwa suatu hari nanti akan saya kembali.

Idealisme saya terhadap kota tercinta ini ternyata tidak gampang terhapus – tidak segampang menghapus kesejarahan daerah seperti yang sedang terjadi saat ini. Idealisme ini tidak naif. Sejak awal sebetulnya saya sudah melihat wajah paling buruknya kota Jogja. Masih segar dalam ingatan saya pada tahun 1983 suatu malam sunyi terpecah dengan suara tembakan: dor dor dor! Tak lama kemudian ada orang datang mengetok pintu. Saya diminta untuk tidak keluar kamar sebelum diijinkan karena ada mayat di ujung gang. Katanya kami beruntung karena ada Pak PeTrus datang dengan shock therapynya untuk mengatasi kejahatan yang sedang merajalela. Selain hal mengerikan tersebut yang juga lengket dalam ingatan saya adalah enaknya Sate Mekar, nikmatnya jalan-2 dengan muridku, dan susahnya berkomunikasi. Kok aku rajin banget belajar bahasa Indonesia, tetapi niatku percuma karena warga Jogja hanya omong jawa! Ya wis, wangsul teng kitha Yojo neh, kula sampun saget wicanten basa Jawi. Ingkang alus sampun fasih, mung kok wong yojo omong ngoko wae. Ya wisss, ra tahu mandhege le sinauku!

Lalu poin apa yang ingin saya soroti disini? Sebagai orang asing yang lama tinggal di Jogja, saya jelas sudah bersusah payah menyesuaikan diriku dengan kota ini. Tetapi dengan bahasa yang lancar atau tidak, selalu akan ada ketelisipan dalam makna, semacam salah artinya, bahkan mungkin menjadi salah kaprah. Kami, para londho (baca: orang asing yang lama menetap di Indonesia), biasanya kesal dengan basa-basi, slogan, mitos-mitos yang dipegang erat walau tidak sesuai dengan realita. Misalnya, hampir 30 tahun di sini, saya kok masih dianggap turis. Sering kami ditanya: ‘dari mana’? Bukan basa-basinya yang menjengkelkan, namun karena jarang ada pembicaraan lanjutan yang lebih bermakna. Sepertinya informasi yang diperlukan hanya sebatas tahu dari mana saya berasal – selanjutnya tidak penting untuk tahu apa saja perbedaan maupun kesamaan antara Jogja dan Amerika misalnya. Jarang sekali ada yang mau menambah pengetahuan tentang dunia luar, tentang alasan mengapa pilih tinggal di Jogja daripada di kota kelahiran sendiri, atau siapakah saya yang dilihat sebagai orang ‘asing’ ini. Dengan kata lain, asal tahu saya berasal dari Amerika, mereka sudah punya pandangan dan gambaran tersendiri tentang saya, hanya dengan berpegang erat pada stereotip yang keliru. Intinya, saya dianggap pasti kaya raya, pengusaha ekspor kerajinan, saya pasti belajar bedoyo, saya dapat ‘kiriman’ setiap bulan dari pemerintah Amerika justru karena tidak bekerja, saya pasti di-cap suka seks bebas, kurang bermoral, pemabuk, dan sebagainya. Stereotip itu tidak saja mengaburkan, tetapi juga menghapus kepribadian kami yang sebenarnya, mengganggu keseimbangan kami sebagai manusia yang utuh, dan memupus keinginan kami untuk berbagi pengalaman, perspektif, pendapat, atau kawruh yang berbeda.

Kalau Jogjakarta betul-betul ingin dipandang sebagai kota internasional, maka kebhinnekaan harus benar-benar dijunjung – termasuk menghargai keberbedaan ras dan suku bangsa sebagaimana halnya dengan keberadaan kami. Bagi saya, kekerasan dan perpecahan yang muncul akhir-akhir ini dalam masyarakat kita sudah menjadi sangat memprihatinkan. Terlalu sering terjadi di mana ada kelompok tertentu yang takut pada perbedaan sampai berani sekali menebar teror, mengancam, memasang spanduk kebencian, menghajar dan kadang membunuh hanya karena ada perbedaan kelompok, aliran, agama, dan sebagainya. Selain londho, masih banyak kelompok yang belum merasa terbaur dalam masyarakat Jogja seperti orang yang non-Islam, yang atheis, Cina, kaum Ahmadiyah, Syi’a, atau juga orang Papua yang beramai-ramai pulang karena tidak merasa terlindung di sini setelah sejumlah orang Papua dibunuh dengan semena-mena. Kelompok lainnya termasuk kaum waria, gay dan lesbian yang belum terangkul. Baru-baru ini saya membaca di Koran bahwa FPI ditolak oleh orang Dayak. Langsung saya berpikir, kok kenapa tidak duluan ditolak di Jogja? Menurut hemat saya, kenyamanan, kedamaian, kondisi fisik dan sosial kemasyarakatan serta berbagai kebudayaan yang hidup di kota ini merupakan keistimewaan yang harus terus dijaga kelestariannya.

Seiring ramainya perbincangan RUUK dan keistimewaan Jogja, kami para londho, sering membahas apa artinya keistimewaan ini. Bagi kami, yang mengerti sejarah dan peran Jogja pada jaman revolusi, menganggap julukan istimewa harus menjadi sesuatu yang terus menerus di tingkatkan, diperbarui, dipelihara sebaik-baiknya – tanpa basa basi! Bukan sesuatu yg diterima begitu saja tanpa ada perlakuan yang juga istimewa. Maka ketika melihat berbagai kelompok ikut pawai pro-penetapan kamipun ikut merasa bangga. Tetapi pada saat yang bersamaan kami juga kecewa dengan sikap pasif masyarakat terhadap beberapa isu penting yang seharusnya ditanggapi dengan seksama. Misalnya masalah lingkungan hidup -bagaimana mengurangi sampah dan plastik. Mengatasi konflik dan rasisme. Menghormati kerja keras petani dan hak tanah. Mengurangi kesemarawutan lalu lintas dan menghargai serta melindungi pejalan kaki. Ataupun memberi gelar mereka yang naik sepeda sebagai pahlawan anti polusi? Selain menjaga suasana historis yang semakin hari terasa semakin redup dan seakan seperti menghilang. Daftar isu ini hanya sebagian kecil dari masalah-masalah yang melanda masyarakat Jogja. Menurut hemat kami segala masalah tersebut semestinya tidak sulit untuk diatasi. Asal ada keinginan; asal kita semua siap bekerjasama. Jika masyarakat Jogja sungguh-sungguh aktif membangun keistimewaanya, pasti bisa menjadi pelopor, semacam patokan buat Indonesia!

Sebuah kota yang benar-benar internasional seharusnya memandang warga orang asing sebagai aset bagi pengembangan daerahnya dan oleh karenanya perlu diberi ruang yang nyaman untuk tinggal dan membaur dalam masyarakat. Malah sebaliknya, menurut peraturan, kami tidak diperbolehkan bekerja, tidak boleh mencari nafka, hidupkan keluarga, menjamin masa depan kami. Dengan melanggar hak asasi manusia yang dasar ini, yaitu hak bekerja untuk orang yang senantiasa dianggap asing (padahal sudah bertahun2 berdomisili di sini), Jogja kehilangan sempat untuk lebih dalam mengenal dan saling berbagi pengalaman dan pengetahuan kami. Kami butuh untuk diperlakukan sebagaimana warga yang berdaulat. Bukankah pemandangan internasional kami dapat ikut meningkatkan keistimewaan kota? Meski berkewarganegaraan asing, kami merasa telah menjadi bagian dari kota ini. Bahkan kami merasa sebagai warga Indonesia juga. Kami punya kepedulian yang tinggi untuk membangun daerah, kami pada umumnya telah secara resmi berkeluarga, membesarkan anak yang berbahasa macam-macam, menanam investasi yang besar pada kota ini, membeli rumah, dan memilih kota Jogja sebagai tempat tinggal sampai akhir hayat. Sekali lagi saya ingin tegaskan bahwa kami orang asing peduli. Kami sangat berharap untuk diterima sebagai warga kota umumnya yang dihargai pendapat dan pemikiranya. Sehingga kami diberi kesempatan untuk ikut memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan agar Jogja akan tetap dan semakin istimewa!

Laine Berman

Jogjakarta

6 Maret 2012


3 thoughts on “KAMI JUGA WARGA JOGJA ISTIMEWA: ‘LONDHO’ MENGAMATI JOGJA

  1. Salam kenal Ibu Laine. Tulisan ibu sangat berkesan sekali. Saya ikut sedih mendengar betapa kolotnya pemerintahan Indonesia dan DIY yang belum bisa merubah sikap dari jaman kolonial. Stereotype memang masih kuat di masyarakat, sungguh di sayangkan. Hal itu membuat banyak kerugian untuk mereka sendiri. Alangkah indahnya seumpama pemerintah bisa merangkul semua warga, termasuk orang asing yang juga ingin memajukan kota tersebut.

    Like

    1. Trims banget atas kommenmu. Presentasi ini malah disensor pas di kepatihan tahun 2012 supaya yg berkuasa tidak perlu dengar kritisisme ini yg masih sopan dan kalem. Klo diberi sempat lagi untuk bicara depan para pemimpin DIY, tak mungkin saya menahan kecewaku dengan kehancuran dan intoleransi yang sudah take-over kota Jogja.
      TQ!

      Liked by 1 person

      1. I’m not surprised that they did that. Most of them are afraid to take any forms of criticism because they are afraid that it will reflect on their leadership skills. Again I’m so sorry. Your Indonesian writing is excellent! I like to read your blog. I learned more about Yogya from your blog.

        Liked by 1 person

Leave a comment